Pengguna media sosial seperti youtube, instagram, X, meta dan tiktok cenderung hanya mencari content atau informasi yang disukainya atau menarik perhatian. Tujuannya beragam seperti hiburan, dukung partisan, mempertahankan keyakinan/pendapatnya dsb. Sehingga penyematan istilah cherry picking kepada pengguna media sosial sepertinya ada relevansi.
Bermula dari pemetik buah cherry, hanya mencari buah yang matang dan bewarna cerah. Litteraly selektif dalam mencari, hanya buah yang matang dan berkualitas baik yang akan dipetik. Hingga akhirnya istilah itu mengalami perubahan makna atau metaforis, dimana seseorang memilih informasi data/fakta yang hanya mendukung pandangannya dan mengabaikan informasi lainnya yang tidak mendukung.
Seperti misalnya viral di media sosial terkait hutang Indonesia yang mencapai ribuan triliun. Ya itu merupakan sebuah fakta. Tapi jika hanya fakta itu yang diolah maka sulit untuk menentukan opini apakah hutang itu besar atau kecil.
Coba kita urai ilustrasi berikut untuk lebih memahami hutang:
- Seseorang punya hutang satu juta rupiah, apakah jumlah itu besar atau kecil? Jawabannya adalah relatif. Kenapa?
- Jika hutang itu dimiliki oleh seorang buruh berpenghasilan UMP Jawa Tengah, maka satu juta rupiah relatif besar dibandingkan seorang direktur perusahaan dengan penghasilan ratusan juta per bulan. Dengan kata lain, seharusnya ada informasi data/fakta lain yang harus diungkap selain jumlah hutang, sesuai ilustrasi disini adalah jumlah penghasilan.
- Dalam konteks hutang negara, persentase hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi penting untuk diungkap agar mengetahui batasan hutang negara yang telah diatur oleh undang-undang. Bisa juga ditambahkan penjelasan seperti kemampuan bayar, bunga, tujuan hutang agar masyarakat tahu dan paham dengan lengkap terkait hutang negara.
Apalagi istilah HOAX atau berita palsu bukanlah fenomena yang asing bagi kita. Viral dan HOAX merupakan dua kata berbahaya jika digabungkan.
Dengan demikian, cherry picking, echo chamber, dan hoax adalah elemen sempurna menuju distorsi informasi dan Algoritma media sosial menjadikannya paripurna.
Tidaklah mudah untuk merubah sistem yang telah dirancang sedemikian rupa. Viewer, subscriber, likes dan followers telah menjadi tahta kehidupan. Otak dan pikiran bukan sekedar kerangka, bisa digunakan sebelum tersimpan di museum kematian. Kita sebagai pengguna media sosial harus mampu menyaring, menelaah dan menggunakan informasi dengan bijak.